NIMBY
Mulai 22 Maret 2006, pengguna jalan di Surabaya akan menikmati rekayasa lalu lintas satu arus di Jalan Ahmad Yani. Beberapa waktu lalu, seorang pensiunan TNI-AD pernah memaparkan hasil pengamatan selama 10 tahun terhadap lalu lintas di jalan itu dan sekitarnya. Ia bahkan merekomendasikan agar Jalan ahmad Yani dibuat satu alur saja.
Entah apa polisi ikut saran orang itu atau tidak, yang jelas mereka memberlakukan lalu lintas satu alur pada jam berangkat dan pulang kerja.
Alasan polisi, langkah itu diambil untuk mengurangi kemacetan. Di Surabaya, pertumbuhan jumlah kendaraan tidak bisa diimbangi dengan pertambahan jalan. Satu-satunya jalan adalah rekayasa lalu lintas.
Jadi, pada pagi hari arus ke dalam kota lebih diutamakan. Sore hari, arus ke luar kota lebih diutamakan. Akibatnya, orang yang akan masuk Surabaya dari arah Sidoarjo atau Mojokerto harus rela berputar di tempat yang lebih jauh.
Selanjutnya, mulai 1 april 2006, Pemerintah kota Surabaya memberlakukan pengaturan jam kerja. Anak sekolah harus masuk dan berangkat lebih pagi. Setelah itu giliran para pekerja. Alasannya, kalau semua berangkat bersama, akan timbul kemacetan seperti selama ini terjadi.
Mungkin pembuat kebijakan itu lupa, tidak sedikit anak sekolah yang diantar oleh orangtuanya yang sekaligus berangkat kerja. Mungkin juga dilupakan, bahwa tidak sedikit sekolah yang sudah memulai pelajaran sebelum pukul 07.00.
Saya pernah bertemu dengan seorang siswi SMU yang menyatakan setiap pagi berangkat dari rumah pukul 05.00 dan baru tiba di rumah lagi paling cepat pukul 16.00. Apa itu kurang pagi?
Pemerintah Kota Surabaya dan Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya beralasan pengaturan itu untuk mengurangi kemacetan.
Kita patut menghargai upaya itu. Hanya, rasanya kita juga patut bertanya, apakah itu tidak seperti mengendalikan akibat. Salah satu penyebab utama kemacetan adalah jumlah kendaraan lebih banyak daripada daya dukung jalan.
Patut dipertanyakan, mengapa tidak membatasi jumlah kendaraan baru?
Betul bahwa itu tidak mudah. Untuk, perlu dipersiapkan sarana trasportasi publik yang memadai. Di surabaya, sulit mengatakan hal itu tersedia.
Selain ketiadaan sarana transportasi publik, juga ada persoalan politik anggaran. Pertambahan jumlah kendaraan berarti pertambahan pendapatan daerah. Pemrov Jatim sudah menegaskan salah satu sumber pendanaan pemilihan gubernur adalah pajak kendaraan bermotor.
Tetapi sekali lagi, semua seperti menangangi akibat tanpa mengendalikan sebab.
Itu juga mencerminkan ego sektoral yang tinggi. Tidak masalah lalu lintas ke kabupaten/kota lain macet, asal tidak di kota saya.
Mungkin ini gara-gara penyebaran akut sindrom NIMBY (Not In My Back Yard)
Entah apa polisi ikut saran orang itu atau tidak, yang jelas mereka memberlakukan lalu lintas satu alur pada jam berangkat dan pulang kerja.
Alasan polisi, langkah itu diambil untuk mengurangi kemacetan. Di Surabaya, pertumbuhan jumlah kendaraan tidak bisa diimbangi dengan pertambahan jalan. Satu-satunya jalan adalah rekayasa lalu lintas.
Jadi, pada pagi hari arus ke dalam kota lebih diutamakan. Sore hari, arus ke luar kota lebih diutamakan. Akibatnya, orang yang akan masuk Surabaya dari arah Sidoarjo atau Mojokerto harus rela berputar di tempat yang lebih jauh.
Selanjutnya, mulai 1 april 2006, Pemerintah kota Surabaya memberlakukan pengaturan jam kerja. Anak sekolah harus masuk dan berangkat lebih pagi. Setelah itu giliran para pekerja. Alasannya, kalau semua berangkat bersama, akan timbul kemacetan seperti selama ini terjadi.
Mungkin pembuat kebijakan itu lupa, tidak sedikit anak sekolah yang diantar oleh orangtuanya yang sekaligus berangkat kerja. Mungkin juga dilupakan, bahwa tidak sedikit sekolah yang sudah memulai pelajaran sebelum pukul 07.00.
Saya pernah bertemu dengan seorang siswi SMU yang menyatakan setiap pagi berangkat dari rumah pukul 05.00 dan baru tiba di rumah lagi paling cepat pukul 16.00. Apa itu kurang pagi?
Pemerintah Kota Surabaya dan Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya beralasan pengaturan itu untuk mengurangi kemacetan.
Kita patut menghargai upaya itu. Hanya, rasanya kita juga patut bertanya, apakah itu tidak seperti mengendalikan akibat. Salah satu penyebab utama kemacetan adalah jumlah kendaraan lebih banyak daripada daya dukung jalan.
Patut dipertanyakan, mengapa tidak membatasi jumlah kendaraan baru?
Betul bahwa itu tidak mudah. Untuk, perlu dipersiapkan sarana trasportasi publik yang memadai. Di surabaya, sulit mengatakan hal itu tersedia.
Selain ketiadaan sarana transportasi publik, juga ada persoalan politik anggaran. Pertambahan jumlah kendaraan berarti pertambahan pendapatan daerah. Pemrov Jatim sudah menegaskan salah satu sumber pendanaan pemilihan gubernur adalah pajak kendaraan bermotor.
Tetapi sekali lagi, semua seperti menangangi akibat tanpa mengendalikan sebab.
Itu juga mencerminkan ego sektoral yang tinggi. Tidak masalah lalu lintas ke kabupaten/kota lain macet, asal tidak di kota saya.
Mungkin ini gara-gara penyebaran akut sindrom NIMBY (Not In My Back Yard)

0 Comments:
Post a Comment
<< Home