hamdan
Beberapa hari lalu, saya berkesempatan mengunjungi Yogyakarta bersama keluarga. Karena istri sedang mengandung, tidak panjang langkah kami di kota tempat kami kuliah itu.
Salah satu tempat persinggahan kami adalah di angkringan milik Hamdan. Angkringan ini terletak di pojok pertigaan Kalibayem, daerah yang terletak antara Kadipiro dan Sonosewu.
Semasa kuliah, saya termasuk mahasiswa miskin atau setidaknya hidup seadanya. Keterbatasan kantong mencegah saya nongkrong di kafe seperti sebagian mahasiswa lain. Alih-alih di kafe, saya dengan sadar mendamparkan diri di berbagai angkringan di Yogyakarta. Salah satu angkringan tujuan saya adalah milik Hamdan.
Angkringan Hamdan, setidaknya bagi saya, merupakan angkringan elit bila dibandingkan angkringan lain di Yogya atau setidaknya dibandingkan angkringan lain pernah saya sambangi.
Beberapa hari lalu, saya kembali ke “angkringan elit” itu. Hamdan masih mengenali saya sebagai salah satu pelanggannya, meski tidak ingat persis siapa saya. Terakhir saya berkunjung ke sana sekitar tahun 2006.
Dalam kunjungan beberapa hari lalu, telah ada beberapa perubahan di sana. Secara fisik setidaknya ukuran nasi kucing di sana lebih kecil dibandingkan dengan yang biasa saya santap semasa kuliah. Harganya juga lebih mahal.
Dahulu, dengan ukuran dua kali dari sekarang, sebungkus nasi kucing dijual Hamdan Rp 700. Sekarang, sebungkus nasi kucing dijual Rp 1.000. Harga lauk juga naik.
Mungkin gara-gara itu saya tidak melihat ada mahasiswa makan di sana saat berkunjung beberapa hari lalu. Saya hanya melihat beberapa pekerja makan di sana.
Saya bertanya dalam hati, apakah penghasilan pekerja itu lebih sedikit dari mahasiswa atau harga di angkringan tidak terjangkau lagi di kantong mahasiswa?
Untuk mengiyakan kemungkinan kedua, saya kurang berani. Sejak zaman saya kuliah, tidak sedikit rekan mahasiswa menerima kiriman jauh di atas UMR. Sekarang rasanya lebih lagi. Tidak sedikit mahasiswa menerima kiriman lebih besar dari gaji seorang pegawai baru.
Untuk mengiyakan kemungkinan pertama, tidak mudah juga. Karena pekerja yang saya lihat itu berpenampilan cukup rapi. Meski, berdasarkan pengalaman setelah beberapa tahun kerja, penampilan rapi tidak menjamin gaji besar. Tidak sedikit orang berpenampilan urakan justru berpenghasilan lebih besar dari pekerja berpenampilan klimis.
Jadi, mana yang benar? Saya pun bingung
Salah satu tempat persinggahan kami adalah di angkringan milik Hamdan. Angkringan ini terletak di pojok pertigaan Kalibayem, daerah yang terletak antara Kadipiro dan Sonosewu.
Semasa kuliah, saya termasuk mahasiswa miskin atau setidaknya hidup seadanya. Keterbatasan kantong mencegah saya nongkrong di kafe seperti sebagian mahasiswa lain. Alih-alih di kafe, saya dengan sadar mendamparkan diri di berbagai angkringan di Yogyakarta. Salah satu angkringan tujuan saya adalah milik Hamdan.
Angkringan Hamdan, setidaknya bagi saya, merupakan angkringan elit bila dibandingkan angkringan lain di Yogya atau setidaknya dibandingkan angkringan lain pernah saya sambangi.
Beberapa hari lalu, saya kembali ke “angkringan elit” itu. Hamdan masih mengenali saya sebagai salah satu pelanggannya, meski tidak ingat persis siapa saya. Terakhir saya berkunjung ke sana sekitar tahun 2006.
Dalam kunjungan beberapa hari lalu, telah ada beberapa perubahan di sana. Secara fisik setidaknya ukuran nasi kucing di sana lebih kecil dibandingkan dengan yang biasa saya santap semasa kuliah. Harganya juga lebih mahal.
Dahulu, dengan ukuran dua kali dari sekarang, sebungkus nasi kucing dijual Hamdan Rp 700. Sekarang, sebungkus nasi kucing dijual Rp 1.000. Harga lauk juga naik.
Mungkin gara-gara itu saya tidak melihat ada mahasiswa makan di sana saat berkunjung beberapa hari lalu. Saya hanya melihat beberapa pekerja makan di sana.
Saya bertanya dalam hati, apakah penghasilan pekerja itu lebih sedikit dari mahasiswa atau harga di angkringan tidak terjangkau lagi di kantong mahasiswa?
Untuk mengiyakan kemungkinan kedua, saya kurang berani. Sejak zaman saya kuliah, tidak sedikit rekan mahasiswa menerima kiriman jauh di atas UMR. Sekarang rasanya lebih lagi. Tidak sedikit mahasiswa menerima kiriman lebih besar dari gaji seorang pegawai baru.
Untuk mengiyakan kemungkinan pertama, tidak mudah juga. Karena pekerja yang saya lihat itu berpenampilan cukup rapi. Meski, berdasarkan pengalaman setelah beberapa tahun kerja, penampilan rapi tidak menjamin gaji besar. Tidak sedikit orang berpenampilan urakan justru berpenghasilan lebih besar dari pekerja berpenampilan klimis.
Jadi, mana yang benar? Saya pun bingung

1 Comments:
Hamdan, mungkin yang mesti di urai lebih lanjut fenomena individualisme di kalangan pedagang angkringan, karena dulu seingat saya hutang di Hamdan masih di izinkan, mungkin karena Cashflownya lambat yang kemudian menimbulkan kerugian, akhirnya tradisi hutang dihindari oleh hamdan, hal hasil mahasiswa menjauh dari angkringan.
Post a Comment
<< Home