Domestik
Beberapa dari anda mungkin ingat iklan televisi tentang produk dari salah satu grup industri di Indonesia beberapa tahun lalu. Setiap iklan akan berakhir , muncul pimpinan grup itu sambil duduk di ruang kerjanya dan mengucapkan "Cintailah ploduk-ploduk dalam negeli"
Lelaki itu memimpin grup industri manufaktur yang membuat berbagai macam produk, mulai dari sendok hingga mesin cuci. DI Jawa Timur, grup usahanya termasuk yang terbesar dan terlikuid.
Lelaki itu dan orang-orang lain di Departemen Perindustrian selalu mendengungkan agar menggunakan produk buatan dalam negeri. Alasannya, semakin banyak produk dalam negeri dibeli, semakin tinggi pula produktifitas industri dalam negeri. Hal itu berarti buruh pabrik itu akan menikmati kesejahteraan lebih baik.
Namun, beberapa bulan lalu harga minyak naik dan industri mengantungkan sumber energinya pada minyak. Akibatnya, banyak industri kembang-kempis, termasuk milik lelaki itu. Saat minyak mahal, daya beli menurun, lelaki itu dan industrialis lainnya menghadapi gelombang tuntutan kenaikan upah buruh. Berdenyut kepala mereka atas tuntutan itu.
Lelaki itu dan kawan-kawan industrialisnya mengeluarkan sinyalemen bila dipaksa naik, dikhawatirkan unit produksi terpaksa pindah ke negara lain yang buruhnya lebih efisien.
Lelaki itu mungkin lupa, sejak beberapa waktu lalu gelombang pemindahan itu sudah terjadi. Sepatu-sepatu terkenal tidak lagi dibuat di Jawa Barat. Makanan-makanan ringan dibuat di balik tirai bambu.
Ribuan jenis produk dari balik tirai bambu menyerbu pasar-pasar dalam negeri. Sebagian besar produk itu dijual dengan harga tidak masuk akal karena terlalu murah. Satu unit radio mini dijual Rp 10.000. Bagaimana cara industri dalam negeri membuat barang seperti itu?
Para pemimpin dalam negeri lalu mencoba mencari cara agar pemilik pabrik tidak memindahkan unit usahanya. Dengan tegar, diajukan revisi undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Seluruh revisi menghapuskan hak pekerja untuk sejahtera, mendapat jaminan keamanan kerja, hak cuti, dan sebagainya.
Para pemimpin menyatakan tidak benar bila itu mengorbankan buruh. Itu cara memancing investasi masuk. Bila investasi masuk, buruh juga akan diuntungkan karena akan banyak lapangan pekerjaan.
Investasi, berkali-kali konferensi tentang menarik investasi digelar. Sesaat setelah tsunami menerjang Aceh dan Nias, tergelar infrastructure summit yang antara lain menghasilkan kesepakatan investasi pembangunan infrastruktur. Demi memancing investor, pemerintah segera membuat PP 36/2005 yang antara lain menetapkan tanah bisa digusur atas nama kepentingan umum dan tanpa ganti rugi yang sesuai. Sampai sekarang, sebagian besar investasi masih nol besar.
Investasi dan demi itu pekerja dikorbankan. Di China, harga buruh lebih mahal. Namun berduyun-duyun investor menyerbu negeri itu. Pejabat pemerintah tidak segan melayani investor sampai ke kamar tidur. Di sini, baru mendarat di bandara sudah dikenai pungutan dan segera menyusul daftar pungutan lain.
Ada pepapatah melayu "Buruk muka cermin di belah". Kerja sendiri tidak becus, salahkan orang lain.
Lelaki itu memimpin grup industri manufaktur yang membuat berbagai macam produk, mulai dari sendok hingga mesin cuci. DI Jawa Timur, grup usahanya termasuk yang terbesar dan terlikuid.
Lelaki itu dan orang-orang lain di Departemen Perindustrian selalu mendengungkan agar menggunakan produk buatan dalam negeri. Alasannya, semakin banyak produk dalam negeri dibeli, semakin tinggi pula produktifitas industri dalam negeri. Hal itu berarti buruh pabrik itu akan menikmati kesejahteraan lebih baik.
Namun, beberapa bulan lalu harga minyak naik dan industri mengantungkan sumber energinya pada minyak. Akibatnya, banyak industri kembang-kempis, termasuk milik lelaki itu. Saat minyak mahal, daya beli menurun, lelaki itu dan industrialis lainnya menghadapi gelombang tuntutan kenaikan upah buruh. Berdenyut kepala mereka atas tuntutan itu.
Lelaki itu dan kawan-kawan industrialisnya mengeluarkan sinyalemen bila dipaksa naik, dikhawatirkan unit produksi terpaksa pindah ke negara lain yang buruhnya lebih efisien.
Lelaki itu mungkin lupa, sejak beberapa waktu lalu gelombang pemindahan itu sudah terjadi. Sepatu-sepatu terkenal tidak lagi dibuat di Jawa Barat. Makanan-makanan ringan dibuat di balik tirai bambu.
Ribuan jenis produk dari balik tirai bambu menyerbu pasar-pasar dalam negeri. Sebagian besar produk itu dijual dengan harga tidak masuk akal karena terlalu murah. Satu unit radio mini dijual Rp 10.000. Bagaimana cara industri dalam negeri membuat barang seperti itu?
Para pemimpin dalam negeri lalu mencoba mencari cara agar pemilik pabrik tidak memindahkan unit usahanya. Dengan tegar, diajukan revisi undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Seluruh revisi menghapuskan hak pekerja untuk sejahtera, mendapat jaminan keamanan kerja, hak cuti, dan sebagainya.
Para pemimpin menyatakan tidak benar bila itu mengorbankan buruh. Itu cara memancing investasi masuk. Bila investasi masuk, buruh juga akan diuntungkan karena akan banyak lapangan pekerjaan.
Investasi, berkali-kali konferensi tentang menarik investasi digelar. Sesaat setelah tsunami menerjang Aceh dan Nias, tergelar infrastructure summit yang antara lain menghasilkan kesepakatan investasi pembangunan infrastruktur. Demi memancing investor, pemerintah segera membuat PP 36/2005 yang antara lain menetapkan tanah bisa digusur atas nama kepentingan umum dan tanpa ganti rugi yang sesuai. Sampai sekarang, sebagian besar investasi masih nol besar.
Investasi dan demi itu pekerja dikorbankan. Di China, harga buruh lebih mahal. Namun berduyun-duyun investor menyerbu negeri itu. Pejabat pemerintah tidak segan melayani investor sampai ke kamar tidur. Di sini, baru mendarat di bandara sudah dikenai pungutan dan segera menyusul daftar pungutan lain.
Ada pepapatah melayu "Buruk muka cermin di belah". Kerja sendiri tidak becus, salahkan orang lain.

0 Comments:
Post a Comment
<< Home