Munafik
Saya tidak tahu dengan orang lain. Tapi saya merasa orang paling munafik sedunia. Saya tahu apa yang baik, pelajari apa yang bagus, baca apa yang arif. Tapi amat sedikit yang saya terapkan.
Tidak jarang saya berpura-pura berdebat dengan diri sendiri tentang baik tidaknya suatu hal. Tapi sepertinya itu tidak banyak bermanfaat. Meski akhirnya debat itu menghasilkan kesimpulan suatu hal buruk dan tidak direkomendasikan untuk diteruskan, saya tetap saja melakukan itu. Apa namanya kalau bukan munafik?
Terkadang saya sampai di titik lelah akibat kemunafikan itu. Namun, selama ini kerap titik itu hanya menjadi koma dan saya lanjutkan perjalanan kumunafikan saya. Sampai kemudian saya merasa sampai di titik lagi.
Kemunafikan itu mendorong saya tidak berbicara kepada orang lain jika ada apa-apa. Saya percaya setiap orang punya jalan keluar sendiri atas segala hal yang dialaminya. Manusia punya hati kecil, kata orang. Ia hanya butuh merenung sejenak, berpikir, dan menggerakan hati kecilnya. Dari situ akan lahir jawaban-jawaban atas apa yang dialaminya.
Akan tetapi manusia, saya terutama, kerap tidak mau mendengarkan dirinya sendiri. Pertimbangan hati, yang sebenarnya merupakan bentuk kerja lain dari otak, tidak mau didengarkan. Kerap, keengganan mendengar itu menghasilkan keuntungan dan itu nikmat. Apa namanya kalau bukan munafik?
Saat sedang menulis ini saya sambil menyumpahi diri sendiri. Menyumpahi kemunafikan dan kebanggaan memamerkannya
Tidak jarang saya berpura-pura berdebat dengan diri sendiri tentang baik tidaknya suatu hal. Tapi sepertinya itu tidak banyak bermanfaat. Meski akhirnya debat itu menghasilkan kesimpulan suatu hal buruk dan tidak direkomendasikan untuk diteruskan, saya tetap saja melakukan itu. Apa namanya kalau bukan munafik?
Terkadang saya sampai di titik lelah akibat kemunafikan itu. Namun, selama ini kerap titik itu hanya menjadi koma dan saya lanjutkan perjalanan kumunafikan saya. Sampai kemudian saya merasa sampai di titik lagi.
Kemunafikan itu mendorong saya tidak berbicara kepada orang lain jika ada apa-apa. Saya percaya setiap orang punya jalan keluar sendiri atas segala hal yang dialaminya. Manusia punya hati kecil, kata orang. Ia hanya butuh merenung sejenak, berpikir, dan menggerakan hati kecilnya. Dari situ akan lahir jawaban-jawaban atas apa yang dialaminya.
Akan tetapi manusia, saya terutama, kerap tidak mau mendengarkan dirinya sendiri. Pertimbangan hati, yang sebenarnya merupakan bentuk kerja lain dari otak, tidak mau didengarkan. Kerap, keengganan mendengar itu menghasilkan keuntungan dan itu nikmat. Apa namanya kalau bukan munafik?
Saat sedang menulis ini saya sambil menyumpahi diri sendiri. Menyumpahi kemunafikan dan kebanggaan memamerkannya

0 Comments:
Post a Comment
<< Home