Sampah
Beberapa waktu terakhir Bandung bukan lagi Paris van Java atau kota Priangan lagi. Bandung juga tidak lagi menjadi lautan api. Semua mata memandang ke kota itu dan semua mulut menjulukinya Bandung Lautan Sampah. Bandung tidak segan menyambut kedatangan SBY dengan gunungan sampah di mana-mana, termasuk di kawasan-kawasan wisata.
Dinas Kebersihan paling dahulu disalahkan karena badan itu memang bertanggung jawab membuang sampah dari Bandung. Menteri Negara Riset dan Teknologi, Kusmayanti Kardiman yang dulunya Rektor IPB itu tak kurang menuding uang retribusi sampah dikorupsi. Akibatnya, tidak ada dana untuk mengelola sampah.
Walikota sebagai penguasa kota tak kurang menerima kecaman dari berbagai pihak.
Para pengecam menyayangkan kelambanan Pemerintah Kota Bandung mengatasi persoalan itu. Bahkan salah satu stasiun televisi menyatakan itu persoalan mudah yang dibikin rumit. Persoalan sampah Cuma mengumpulkan dan membuang.
Tidak sedikit yang kontra dengan pendapat itu. Di zaman sekarang, bukan masanya lagi sampah sekedar dikumpulkan ditempat tertentu. Pola penanganan seperti akan menimbulkan berbagai persoalan.
Sampah Bandung meminta korban saat longsor beberapa waktu lalu. Sampah yang dikumpulkan saja akan menghasilkan pencemaran air, tanah, udara.
Beberapa pihak menyatakan Bandung layak memikirkan cara pengelolaan sampah yang lebih baik. Kurang tepat rasanya bila Bandung beralasan tidak menguasai caranya. Di kota kembang itu ada ITB. Buat apa ada perguruan tinggi teknik kalau tidak bisa mengembangkan teknologi untuk lingkungan sekitarnya.
Namun, itu baru bicara penanganan akibat. Tanpa menyelesaikan sebab, akibat akan muncul terus dan persoalan tidak pernah selesai. Kecuali bila persoalan harus selalu ada agar proyek jalan terus.
Penyebab tentu saja bicara soal publik penghasil sampah. Publik harus mengubah paradigma tanggung jawab mereka selesai setelah membayar retribusi sampah. Dengan pembayaran itu, ada alasan pembenar untuk memproduksi sampah sebanyak-banyaknya. Namun tidak suka melihat sampah tertumpuk di sekitar mereka.
Salah satu penyebab banyaknya sampah adalah perilaku konsumtif. Semakin banyak belanja, setidaknya semakin banyak pembungkus dibuang. Publik lebih suka membeli air dalam kemasan kecil daripada mengisi sendiri kemasan itu dengan air dari rumah. Publik merasa gengsi bila tidak menjinjing kantong plastik berlogo pusat-pusat perbelanjaan. Semakin banyak kantong dijinjing, semakin naik martabat diri.
Publik memang suka sampah. Jadi tidak ada salahnya ada sampah disekitar rumah.
Dinas Kebersihan paling dahulu disalahkan karena badan itu memang bertanggung jawab membuang sampah dari Bandung. Menteri Negara Riset dan Teknologi, Kusmayanti Kardiman yang dulunya Rektor IPB itu tak kurang menuding uang retribusi sampah dikorupsi. Akibatnya, tidak ada dana untuk mengelola sampah.
Walikota sebagai penguasa kota tak kurang menerima kecaman dari berbagai pihak.
Para pengecam menyayangkan kelambanan Pemerintah Kota Bandung mengatasi persoalan itu. Bahkan salah satu stasiun televisi menyatakan itu persoalan mudah yang dibikin rumit. Persoalan sampah Cuma mengumpulkan dan membuang.
Tidak sedikit yang kontra dengan pendapat itu. Di zaman sekarang, bukan masanya lagi sampah sekedar dikumpulkan ditempat tertentu. Pola penanganan seperti akan menimbulkan berbagai persoalan.
Sampah Bandung meminta korban saat longsor beberapa waktu lalu. Sampah yang dikumpulkan saja akan menghasilkan pencemaran air, tanah, udara.
Beberapa pihak menyatakan Bandung layak memikirkan cara pengelolaan sampah yang lebih baik. Kurang tepat rasanya bila Bandung beralasan tidak menguasai caranya. Di kota kembang itu ada ITB. Buat apa ada perguruan tinggi teknik kalau tidak bisa mengembangkan teknologi untuk lingkungan sekitarnya.
Namun, itu baru bicara penanganan akibat. Tanpa menyelesaikan sebab, akibat akan muncul terus dan persoalan tidak pernah selesai. Kecuali bila persoalan harus selalu ada agar proyek jalan terus.
Penyebab tentu saja bicara soal publik penghasil sampah. Publik harus mengubah paradigma tanggung jawab mereka selesai setelah membayar retribusi sampah. Dengan pembayaran itu, ada alasan pembenar untuk memproduksi sampah sebanyak-banyaknya. Namun tidak suka melihat sampah tertumpuk di sekitar mereka.
Salah satu penyebab banyaknya sampah adalah perilaku konsumtif. Semakin banyak belanja, setidaknya semakin banyak pembungkus dibuang. Publik lebih suka membeli air dalam kemasan kecil daripada mengisi sendiri kemasan itu dengan air dari rumah. Publik merasa gengsi bila tidak menjinjing kantong plastik berlogo pusat-pusat perbelanjaan. Semakin banyak kantong dijinjing, semakin naik martabat diri.
Publik memang suka sampah. Jadi tidak ada salahnya ada sampah disekitar rumah.

0 Comments:
Post a Comment
<< Home